BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah. Dengan adanya Globalisasi, kehidupan manusia menjadi lebih mudah, efektif, dan hemat. Arus modernisasi dan globalisasi itu mempunyai banyak nilai positif dan negatifnya:
Segi positifnya, informasi yang didapat menjadi lebih cepat dan akurat daripada masa-masa sebelumnya yang kebanyakan masih menggunakan cara-cara manual. Selain itu, semua orang juga merasa senang apabila ikut serta terhadap perkembangan zaman. Mereka tidak mau dikatakan ketinggalan zaman. Malah orang yang tidak mengikuti era globalisasi ini seringkali diejek oleh teman sejawatnya.
Sisi negatif dari arus modernisasi dan globalisasi pun juga tak kalah sedikitnya, fasilitas-fasilitas yang ada di era globalisasi ini sebagian besar disalahgunakan oleh para penggunanya. Contoh, internet sekarang ini sering dijadikan arena untuk mencari situs-situs porno, handphone digunakan untuk menyimpan data-data yang tidak mendidik moral seseorang, dan lain-lain.
Globalisasi secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi perkembangan moral. Seseorang dapat berperilaku buruk akibat penggunaan teknologi yang tidak pada tempatnya. Efek dari Globalisasi tersebut dapat kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Meleburnya norma dan nilai di masyarakat akibat Globalisasi membuat generasi muda tidak lagi mengindahkan aturan. Tindakan dan perilaku masyarakat yang arogan, mengikuti mode/trend, bergaya hidup mewah/boros, merupakan contoh nyata dari adanya globalisasi.
Permasalahan moral sebenarnya sudah ada sebelum Globalisasi muncul. Namun kemunculan Globalisasi dapat menjadi faktor yang mempengaruhi perkembangan moral. Dengan adanya Globalisasi, perkembangan moral dapat menjadi lebih baik karena informasi dapat dilakukan dengan cepat. Ajaran agama, motivasi, pendidikan, dan pengetahuan dapat diakses oleh siapa saja dengan cepat. Sehingga dengan globalisasi dimungkinkan perkembangan moral dapat ditingkatkan menjadi lebih baik.
Namun dengan Globalisasi pula dapat menjadi faktor rendahnya moral bangsa. Hal ini terutama disebabkan oleh penggunaan produk globalisasi yang tidak diimbangi oleh norma sebagai benteng diri. Dalam makalah ini, penulis mencoba mengkaji dampak Globalisasi terhadap perkembangan moral.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah yang diangkat adalah bagaimana pengaruh Globalisasi terhadap perkembangan moral?
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui globalisasi dan ciri-cirinya
2. Untuk mengetahui Moral dan tahap-tahap perkembangan moral
3. Untuk memaparkan pengaruh globalisasi terhadap perkembangan moral
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Globalisasi
Menurut asal katanya, kata “globalisasi” diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negaraadikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.
Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan orang dengan globalisasi:
Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain.
Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi.
Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia.
Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.
Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda dengan keempat definisi di atas. Pada empat definisi pertama, masing-masing negara masih mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian yang kelima, dunia global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan negara-negara.
B. Ciri globalisasi
Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia.
Perubahan dalam Konstantin ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO).
Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan.
Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional,inflasi regional dan lain-lain.
Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu. Giddens menegaskan bahwa kebanyakan dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi. Sejalan dengan itu, Peter Drucker menyebutkan globalisasi sebagai zaman transformasi sosial.
C. Pengertian Moral
Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan disekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat.Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya.Moral adalah produk dari budaya dan Agama. Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk.
D. Tahap perkembangan moral Kohlberg
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of Chicago berdasarkan teori yang ia buat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral. Ia menulis disertasi doktornya pada tahun 1958 yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg.
Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya.
Kohlberg menggunakan ceritera-ceritera tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan ia tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila mereka berada dalam persoalan moral yang sama. Kohlberg kemudian mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon yang dimunculkan ke dalam enam tahap yang berbeda. Keenam tahapan tersebut dibagi ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif; setiap tahapan dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih adekuat terhadap dilema-dilema moral dibanding tahap/tingkat sebelumnya.
Keenam tahapan perkembangan moral dari Kolhlberg dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori perkembangan kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam tahapan-tahapan ini. Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada dalam tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya.
Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi minat pribadi ( Apa untungnya buat saya?)
Tingkat 2 (Konvensional)
3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas ( Sikap anak baik)
4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial ( Moralitas hukum dan aturan)
Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
5. Orientasi kontrak sosial
6. Prinsip etika universal ( Principled conscience)
Pra-Konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.” Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; ‘mereka bermaksud baik…’
Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu – sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka secara ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
Pasca-Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.
Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut – ‘memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak’? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagaikontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkankesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima.
Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional (lihat imperatif kategoris dari Immanuel Kant). Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John Rawls). Tindakan yang diambil adalah hasilkonsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.
E. Pengaruh Globalisasi Terhadap Perkembangan Moral
Arus modernisasi dan globalisasi itu mempunyai banyak nilai positif dan negatifnya:
Segi positifnya, informasi yang didapat menjadi lebih cepat dan akurat daripada masa-masa sebelumnya yang kebanyakan masih menggunakan cara-cara manual. Selain itu, semua orang juga merasa senang apabila ikut serta terhadap perkembangan zaman. Mereka tidak mau dikatakan ketinggalan zaman. Malah orang yang tidak mengikuti era globalisasi ini seringkali diejek oleh teman sejawatnya.
Segi positifnya, informasi yang didapat menjadi lebih cepat dan akurat daripada masa-masa sebelumnya yang kebanyakan masih menggunakan cara-cara manual. Selain itu, semua orang juga merasa senang apabila ikut serta terhadap perkembangan zaman. Mereka tidak mau dikatakan ketinggalan zaman. Malah orang yang tidak mengikuti era globalisasi ini seringkali diejek oleh teman sejawatnya.
Sisi negatif dari arus modernisasi dan globalisasi pun juga tak kalah sedikitnya, fasilitas-fasilitas yang ada di era globalisasi ini sebagian besar disalahgunakan oleh para penggunanya. Contoh, internet sekarang ini sering dijadikan arena untuk mencari situs-situs porno, handphone digunakan untuk menyimpan data-data yang tidak mendidik moral seseorang, dan lain-lain.
Hal yang sangat mengkhawatirkan adalah para penikmat ’aksesoris-aksesoris’ era modernisasi ini kebanyakan melakukan hal-hal yang sebagaimana diungkapkan di atas. Yang membuat hati semua masyarakat Indonesia miris lagi, objeknya adalah para remaja, sang penerus bangsa Indonesia di masa yang akan datang. Para remaja bukannya ’disibukkan’ untuk menuntut ilmu dalam meneruskan pembangunan bangsa ke depan, melainkan disibukkan dengan menikmati ’hiburan-hiburan’ yang tersaji pada era globalisasi sekarang ini, seperti handphone, televisi, dan lain-lain. Bahkan, ’hiburan-hiburan’ yang bersifat negatif pun mereka terima dan nikmati. Mereka tidak sadar bahwa hal itu akan memorak-porandakan negara ini dalam waktu beberapa saat lagi.
Bagi para produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar bisnis yang sangat potensial karena pola konsumsi seseorang itu terbentuk pada saat usia remaja. Di samping itu, remaja juga sangat mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan sesuatu yang dimilikinya, misalnya uang atau harta benda.
Sifat-sifat di atas itulah yang dimanfaatkan oleh para produsen untuk memasuki ‘pasar remaja’. Jadi sering sekali kita lihat di televisi-televisi bahwa intensitas acara remaja itu lebih banyak daripada acara kalangan usia lain. Salah satu karakter yang khas di kalangan remaja adalah identifikasi (peniruan dan penyeragaman) dalam suatu kelompok. Untuk itu, mereka biasanya membutuhkan panutan untuk dijadikan contoh. Saat ini, kita harus mengakui bahwa remaja masa kini miskin figur panutan yang bisa dijadikan contoh. Betapa tidak, di satu sisi mereka sangat membutuhkan seseorang yang dapat dijadikan panutan, sedangkan di sisi lain mereka disuguhi panutan-panutan yang berlaku negatif yang sering tampil di layar-layar televisi, misalnya pemain sinetron yang sering memerankan adegan berpacaran, berpegangan tangan antar lawan jenis, dan lain-lain.
Kuatnya pengaruh tontonan televisi terhadap perilaku seseorang telah dibuktikan lewat penelitian ilmiah. Seperti diungkapkan oleh American Psychological Association (APA) pada tahun 1995 bahwa tayangan yang bermutu akan memengaruhi seseorang untuk berperilaku baik. Sedangkan tayangan yang kurang bermutu akan mendorong seseorang untuk berperilaku buruk. Bahkan, penelitian itu menyimpulkan bahwa hampir semua perilaku buruk yang dilakukan orang adalah hasil dari pelajaran yang mereka terima dari media semenjak usia anak-anak.
Sebuah penelitian tentang pergaulan remaja di kabupaten Bandung memberikan informasi kepada kita bahwa sekitar 40 % remajanya sudah pernah berciuman dengan pasangannya. Sedangkan 60 % remaja Bandung pernah bersentuhan dengan teman lawan jenisnya. Dalam hal ini seperti berpegangan tangan, dan lain-lain. Kemudian sekitar 25 % dari data itu sudah pernah melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Hasil penelitian tersebut menjadi keprihatinan tersendiri bagi kita semua, mengingat kabupaten Bandung belumlah menjadi daerah yang modern seperti halnya kota Bandung.
Untuk menanggulangi permasalahan di atas diharapkan peran aktif pihak keluarga terutama para orang tua dalam mendidik anak-anaknya agar anak-anaknya tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang negatif. Orang tua hendaklah memberikan teladan yang baik kepada anak-anaknya. Sesungguhnya nilai moral dan budi pekerti yang merupakan fondasi utama perilaku baik dapat dimiliki oleh setiap orang dari keteladanan orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat yang diidolakannya.
Untuk menanggulangi permasalahan di atas diharapkan peran aktif pihak keluarga terutama para orang tua dalam mendidik anak-anaknya agar anak-anaknya tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang negatif. Orang tua hendaklah memberikan teladan yang baik kepada anak-anaknya. Sesungguhnya nilai moral dan budi pekerti yang merupakan fondasi utama perilaku baik dapat dimiliki oleh setiap orang dari keteladanan orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat yang diidolakannya.
Pemahaman dan pengamalan ajaran agama semenjak dini pun diyakini dapat menanggulangi permasalahan di atas. Pengetahuan agama akan membentengi seseorang dari perilaku amoral, kriminal, dan budaya-budaya asing yang negatif.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa globalisasi memiliki dampak positif maupun negatif. Oleh karena itu, kita harus bisa mengambil manfaat yang positif dan menghindari dampak negatif dari globalisasi. Globalisasi secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi perkembangan moral. Seseorang dapat berperilaku buruk akibat penggunaan teknologi yang tidak pada tempatnya. Efek dari Globalisasi tersebut dapat kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Meleburnya norma dan nilai di masyarakat akibat Globalisasi membuat generasi muda tidak lagi mengindahkan aturan. Tindakan dan perilaku masyarakat yang arogan, mengikuti mode/trend, bergaya hidup mewah/boros, merupakan contoh nyata dari adanya globalisasi.
Semestinya, dengan adanya globalisasi akan mampu menjadikan hidup manusia lebih mudah, cepat, efisien, dan hemat. Namun, penggunaan teknologi yang tidak diimbangi dengan Sumber Daya Manusia yang berkualitas justru akan menimbulkan masalah. Oleh karena itu, masayarakat harus dididik dan dilatih agar benar-benar siap menghadapi arus Globalisasi yang memang tidak dapat dihindari. Dalam hal pemanfaatan produk globalisasi, kesiapan mental dan moral manusia merupakan modal yang sangat penting. Banyak kasus penyalahgunaan teknologi disebabkan karena rendahnya moral dan mental manusia.
Untuk mencegah agar Globalisasi tidak berdampak buruk bagi manusia, perlu adanya aturan-aturan norma yang dapat membentengi diri. Salah satunya adalah norma agama yang mampu mengajarkan para pemeluknya untuk senantiasa berbuat baik dan menjauhi maksiat. Disamping itu, norma kesusilaan dan kesopanan juga diperlukan untuk memberikan batasan prilaku masyarakat sehingga dapat dikendalikan.
Daftar Pustaka
Crain, William C. (1985). Theories of Development (2Rev Ed ed.). Prentice-Hall. ISBN 0-13-913617-7.http://faculty.plts.edu/gpence/html/kohlberg.htm.
Duska, Ronald; M. Whelan (1982). Perkembangan Moral: Perkenalan dengan Piaget dan Kohlberg, Terjemahan Dwija Atmaka. Yogyakarta: Kanisius.
Kohlberg, Lawrence (1971). From Is to Ought: How to Commit the Naturalistic Fallacy and Get Away with It in the Study of Moral Development. Academic Press.
Kohlberg, Lawrence (1973). “The Claim to Moral Adequacy of a Highest Stage of Moral Judgment”. Journal of Philosophy 70: 630-646.
Kohlberg, Lawrence (1981). Essays on Moral Development, Vol. I: The Philosophy of Moral Development. Harper & Row. ISBN 0-06-064760-4.
Kohlberg, Lawrence; Charles Levine, Alexandra Hewer (1983). Moral stages : a current formulation and a response to critics. Basel, NY: Karger. ISBN 3-8055-3716-6.
Kusdwiratri (1983)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar